Mozaik kisah kasih Djon dan Rose dalam bingkai
teater. Bersumber dari berbagai dokumen sejarah: visual, audial,
arsip surat-menyurat, dan kesaksian sumber-sumber yang pernah
bersinggungan dengan Sudjojono. Pertunjukan biografis yang romantis.
Suara
mezosopran Rose Pandanwangi menggema di seluruh ruangan. Lagu yang ia
nyanyikan itu lagu kesukaan Sudjojono, Ich Liebe Dich, karya
Ludwig van Beethoven. Rose terlihat anggun berbalut rok hitam dan
blus merah dengan cardigan emas. Begitu lagu berakhir, di
tengah panggung, tampak Rose muda (diperankan putri pertama
Rose-Sudjojono, Maya Sudjojono) dan Sudjojono muda (Gandung
Bondowoso) sedang memadu kasih. ''Kudengar orang bilang kemarin
adalah kemarin. Esok adalah esok. Sebelum hari ini berlalu, kita
santap saja Mama,'' kata Sudjojono pada Rose.
Lalu,
suara merdu Rose tua kembali menggema. Kali ini ia menyanyikan lagu
My Way. Cinta yang telanjur bersemi menjadi jalan yang mereka
pilih. Tapi kemudian, Rose muda dan Djon bingung bukan kepalang.
Sedari mula mereka sadar status masing-masing yang tak lagi sendiri.
''Harus ada kejelasan, Mas. Setelah hubungan kita kian jauh. Kita
tidak bisa begini terus,'' kata Rose muda.
Biografi
kehidupan Sudjojono atau akrab dipanggil Djon, lengkap dengan kisah
cintanya itu dikemas dalam pertunjukkan teatrikal berjudul
Pandanwangi dari Sudjojono yang disutradarai oleh Gandung
Bondowoso. Dalam durasi sekitar dua jam, Gandung memadukan berbagai
disiplin seperti teater, monolog, tari, dan olah-vokal pada
pertunjukan yang digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jumat
malam, pekan lalu.
Gandung
yang juga berperan sebagai Djon muda dan narator, mempersiapkan lakon
biografis ini dengan cukup serius. Ia mengetengahkan mozaik-mozaik
yang membentuk kisah hidup Djon melalui penggalian arsip visual,
audio, catatan, dan kesaksian. Dalam pementasan ini, penonton bukan
hanya dapat menikmati karya-karya lukisan Sudjojono yang terpampang
sebagai latar belakang panggung, melainkan juga rekaman suara
aslinya.
Sesuai
dengan judulnya, plot besar pertunjukan ini adalah perjalanan kisah
kasih Rose dan Djon. Namun untuk menjaga objektivitas muatan
biografis, sejumlah interaksi Djon dengan sumber-sumber lain juga
dimunculkan. Di antaranya pemunculan sosok-sosok yang dijadikan objek
lukisan Djon, seperti Jajang C. Noer. ''Itu saya, itu, itu gambar
saya,''kata Jajang dari atas panggung, sembari menunjuk sebuah
lukisan karya Djon yang terpampang di tirai belakang panggung.
Ceritanya, dulu Jajang bertetangga dengan Djon di kawasan Pasar
Minggu, Jakarta Selatan. Jajang tahu betul kalau Djon itu pelukis
hebat. Ia rela menyerahkan tabungannya Rp10 ribu agar bisa dilukis
Djon.
Dari
fragmen ini, selain Jajang, tampil pula empat anak Djon yang
diperankan oleh cucu-cucu Djon dan Kemal Abdul Hamid (diperankan oleh
aktor senior, Joseph Ginting), pacar Pandanwangi, putri bungsu Djon.
Mereka bertutur mengenai tantangan kesabaran yang harus dilalui,
berdiri seharian, ketika menjadi objek lukisan Djon. Tak mengherankan
bila sebagian besar hasil lukisan mereka adalah sosok dengan wajah
cemberut.
Djon
memang terbiasa membuat lukisan dalam waktu lama. Lukisan My
Queen, misalnya, yang mulai ia buat pada 1956 dan menjadi
representasi awal hubungan Rose-Sudojono, selesai 15 tahun kemudian.
Pada tiap lukisan itu, Djon selalu membubuhkan puisi.
Dalam
riwayat kepelukisannya, Djon banyak mengkritik gaya lukisan mooi
indie yang hanya melukis pemandangan dan manusia cantik dalam
bentuk sempurna, yang hidup dalam citraannya sendiri. ''Djon
berpendapat lukisan semacam itu memang cantik, tapi tidak berjiwa
karena lepas dari kehidupan sebenarnya,'' tutur Gandung dalam
narasinya.
Pada
1946 Djon membuat kredo ''jiwa ketok''. Merujuk pada pengertian "jiwa
yang kelihatan" ; "kecantikan" jiwa yang hadir tanpa
mempercantik wajah modelnya. Atas kiprah dan pemikirannya itu, Djon
dianugerahi gelar Bapak Seni Lukis Indonesia Baru oleh Trisno
Sumardjo, pengamat seni yang juga seniman.
Gandung
mempersiapkan pementasan ini dalam kurun waktu cukup lama, sembilan
bulan untuk riset dan penulisan, dan dua bulan untuk latihan. Riset
dan penulisan membutuhkan waktu paling lama. Pada tahap riset,
Gandung mewawancarai berbagai narasumber yang pernah bersentuhan
langsung dengan Sudjojono. Terutama keluarga Sudjojono.
Gandung
juga membaca berbagai buku yang memuat tentang Sudjojono, membaca
naskah-naskah pidatonya dan mendengarkan suara Sudjojono dalam
rekaman kaset. ''Ini naskah sejarah, saya tidak boleh ngarang,
tidak boleh berimajinasi,'' kata Gandung seusai pentas.
Sebagian
aktor masih amatir. Anak-anak Djon semasa kecil dan Maya yang menjadi
Rose muda misalnya. ''Kalau saya menggunakan orang-orang yang
bersentuhan langsung dengan Sudjojono akan lebih afdol," Gandung
menjelaskan. Untuk mengimbangi akting aktor amatir itu, ia
menghadirkan aktor kawakan seperti Jajang C. Noer dan Joseph
Ginting."Supaya nuansa teaternya lebih muncul,"ujarnya.
Kisah
kasih Rose dan Djon dalam lakon ini menjadi materi paling lengkap.
Selain sumber-sumber sekunder, Gandung merujuk langsung pada cerita
Rose Pandanwangi yang kini berusia 83 tahun. Rose dan Djon pertama
kali bertemu di Armsterdam pada 1951. Saat itu Rose adalah penyanyi
seriosa yang sedang belajar vokal, sedang Djon pelukis kenamaan
Indonesia yang sedang melakukan lawatan kebudayaan.
Sepulang
dari Belanda, tiga tahun kemudian, Rose dan Djon dipertemukan kembali
pada konferensi perdamaian sedunia di Jakarta. Seorang yang mengenal
mereka menyarankan Rose untuk bertandang ke galeri lukisan Sudojono
di Yogyakarta. Sejak itu Rose rajin mengunjungi Djon. Rose
menyaksikan langsung, banyak lukisan Djon yang tak selesai dibuat. Ia
pun menyarankan agar Djon menyelesaikan lukisan-lukisan tersebut.
''Jika begini terus, kau tidak akan dikenang,'' kata Rose muda dalam
pentas.
Rupanya,
dukungan Rose memberikan semangat baru pada Djon. Sejak saat itu
wajah Rose banyak nongol dalam lukisan-lukisan Djon. Sejak itu pula
cinta Rose dan Djon tumbuh bersemi. Setelah pementasan, kepada GATRA
Rose bercerita mengenai cara Djon mengungkapkan isi hatinya. Yaitu
dalam bentuk pernyataan retorik; ''Kamu tahu kan kalau saya cinta?"
Rose menirukan ucapan Djon.
Singkat
cerita, mereka lantas jadi sepasang kekasih. Rose bercerai dari
suaminya pada 1958. Beberapa bulan kemudian Djon menceraikan
istrinya, Mia Bustam. Mereka menikah setahun berikutnya, saat Djon
berusia 46 tahun sedangkan Rose 30 tahun. ''Setelah lama melalui
banyak rintangan, kami baru bisa memutuskan dengan ikhlas bahwa untuk
menempuh jalan bersama,'' kata Rose mengenang.
Rose
mengabadikan kisah cintanya bersama lukisan-lukisan karya Djon di
museum di Cirendeu (semula di Pasar Minggu). Termasuk surat-surat
cinta Djon untuk Rose. Salah satu surat yang menggambarkan betapa
abadi cinta Djon-Rose, dibacakan oleh narator di penghujung pentas.
"....walaupun
topan membelah kapal dan memukul berkeping-keping, saya masih merasa
tidak sendirian. Bahkan sampai kematian di dasar laut pun kita tetap
bersama dengan pelukan lengan-lengan erat kita yang abadi. Sebuah
cinta dua seniman yang tidak pernah akan hilang. Ya, ya, Rose. Cinta
seperti itu sangat hebat. Badai bisa menghilangkan, memaksakan dan
meremukkan tubuh ini. Tapi cinta tidak. Itu adalah jiwa cinta yang
besar, tidak mengenal kehilangan....''
Pementasan
ini menjadi bagian dari rangkaian acara memperingati seabad pelukis
Sudojono yang digelar sepanjang 2013. Acara lain adalah pameran
karya-karya Sudjojono, pembacaan surat-surat cinta dan diskusi.
Rangkaian acara ini selenggarakan di berbagai wilayah seperti
Jakarta, Yogyakarta, Bali, dan bahkan hingga di Singapura.
0 komentar: