Kugy
patah hati! Di hari ulang tahun Keenan, laki-laki yang ia suka, Kugy
urung memberikan kado unik buatannya sendiri. Ia malah pergi
meninggalkan Keenan. Meninggalkan sepasang sahabatnya, Noni dan Eko,
juga Wanda, sepupu Noni yang cantik dan blasteran.
Semua
itu karena Kugy cemburu kepada Wanda. Wanda memang sengaja
diperkenalkan Noni dan Eko untuk dijodohkan dengan Kugy. Bukannya
mereka sahabat yang tidak baik, sebelum bertemu Keenan, Kugy sudah
lebih dulu punya pacar di Jakarta. Namanya Joshua. Kugy cemburu
melihat Wanda dan Keenan tampak begitu nyambung. Keenan yang pelukis,
dan Wanda yang memiliki yayasan seni. Keenan terperanjat ketika Wanda
tertarik pada lukisan Keenan. Tak hanya itu, Wanda yang memang
tertarik pada Keenan, mengusulkan agar lukisan Keenan turut tampil
pada pameran lukisan yang diadakan yayasannya. Kedekatan Kugy dengan
Keenan, juga persahabatan Kugy dengan Noni dan Eko akhirnya luntur
gara-gara itu.
Konflik
cinta Kugy-Keenan ini tampil dalam film Perahu Kertas. Film ini
diadaptasi dari novel dengan judul yang sama hasil garapan Dewi
Lestari. Film yang disutradarai Hanung Bramantyo ini baru tayang di
bioskop dua minggu kemarin dan berhasil menyedot banyak penonton. Yang menjadi ganjalan
dan sangat mengganggu, film ini terlalu diramaikan oleh
fragmen-fragmen jalan cerita yang justru mengacaukan fokus cerita
tersebut.
Fragmen
pertama menampilkan repotnya Kugy pindah dari Jakarta ke Bandung
untuk kuliah di jurusan sastra. Dari proses pindah hingga ia tinggal
di Bandung dibantu oleh sepasang sahabatnya, Noni dan Eko. Kemudian
datanglah Keenan, dari Amsterdam kalau tidak salah, yang juga kuliah
di Fakultas Ekonomi di kampus yang sama. Keenan pelukis, sedang Kugy
penulis dongeng. Dari pertemuan pertama, kedua anak manusia ini sudah
terjalin cinta.
Datanglah
Wanda. Cerita kemudian fokus ke Keenan dan Wanda yang asyik
mengadakan pameran seni. Dalam fragmen ini, Wanda diceritakan
berkorban habis-habisan demi Keenan. Mulai dari membujuk orang tuanya
agar lukisan Keenan tampil di pameran, bolak-balik Jakarta-Bandung,
sampai membohongi Keenan bahwa lukisannya sudah terjual semua. Meski
begitu Keenan tetap tak bergeming. Di ulang tahun Wanda, tahulah
Keenan kalau Wanda sendiri yang membeli lukisannya. Semua itu Wanda
lakukan demi memperoleh cinta Keenan. Pada pesta inilah puncak
sekaligus akhir kisah Wanda dan Keenan.
Keenan
kemudian hijrah ke Bali. Ia diusir papanya karena lebih memilih
lukisan ketimbang kuliah. Di Bali, Keenan belajar melukis pada mantan
pacar mamanya, Pak Wayan. Di bali itu pula Keenan berkenalan dengan
perempuan pendiam keponakan Pak Wayan. Perempuan itu kemudian jatuh
cinta pada Keenan. Seorang laki-laki Bali nampak cemburu melihat
kedekatan Keenan dan perempuan itu.
Sementara
itu, Kugy yang sedang patah hati lebih banyak menghabiskan waktunya
pada sebuah sanggar anak. Anak-anak sanggar itu bahkan memiliki
kedekatan emosional tersendiri pada Keenan. Mereka tidak mau
mengikuti lomba kalau Keenan tidak datang.
Pada
saat yang sama, Kugy berkonflik dengan Joshua. Perbedaan yang sudah
ada sejak lama tiba-tiba saja menjadi kesenjangan antara Kugy dan
Joshua. Joshua menganggap Kugy aneh dengan dunia dongengnya. Joshua
juga merasa Kugy lebih mementingkan sanggar ketimbang dirinya. Joshua
kemudian menawarkan pilihan, anak-anak sanggar, atau turut ke Bali
bersamanya. Kugy rupanya lebih memilih anak-anak sanggar ketimbang
pacarnya yang egois. Mereka pun putus.
Fragmen
kemudian berpindah pada proses Kugy menyelesaikan kuliah, memperoleh
pekerjaan baru dan sukses pada pekerjaan itu. Fragman kemudian
berlanjut ke cinta lokasi antara Kugy dengan Remi, bos di kantor
tempatnya bekerja. Remi rupanya pernah bertemu Keenan di Bali dan
membeli lukisannya. Meski begitu Kugy tidak tahu kalau Remi dan
Keenan saling kenal.
Fragmen-fragmen
ini terlalu ramai. Penonton hanya menyaksikan beragam fragmen tanpa
ada kedalaman cerita dari setiap fragmen. Tak ada kedalaman artinya
tak ada penghayatan. Sebetulnya benang merah film ini tetap tidak
hilang, tetap dalam kerangka percintaan antara Keenan dan Kugy. Meski
telah berputar-putar ke fragmen lain, fokus ceritanya akan kembali ke
percintaan Keenan dan Kugy.
Kembalinya
fragmen ke fokus cerita, setelah penonton diajak berputar-putar ke
aneka fragmen, seperti tersadar dari shock yang panjang dan kembali
ke realitas kehidupan. Ada kelelahan dari shock yang panjang, dan ada
sedikit helaan nafas bahwa penonton kembali ke kehidupan yang riil.
Meski nafas telah terhela, kelelahan akibat shock panjang itu tentu
saja tak hilang begitu saja. Makanya, film ini, menurut saya, gagal
membuat penonton merasa menikmati dan turut masuk ke dalam cerita.
Selain
ramai fragmen, film ini juga penuh taburan bintang. Para pemeran
utama dalam film ini sebetulnya termasuk pendatang baru. Seperti
Maudy Ayunda yang menjadi Kugy, Adipati Dolken yang menjadi Keenan,
Sylvia Fully (Noni) dan Fauzan Smith (Eko). Artis terkenal yang
tampil adalah pemeran orang tua Keenan, Ira Wibowo dan Agus Melaz.
Begitu juga dengan orang tua Wanda. Ibunya Wanda bahkan diperankan
langsung oleh Dewi Lestari. Sayangnya ia tampil 2 syut saja.
Beberapa
sosok lain yang sudah sangat familiar justru tampil di tengah bahkan
di akhir cerita. Reza Rahadian misalnya. Pemeran utama dalam
Perempuan Berkalung Sorban ini muncul di tengah cerita ketika ia ke
Bali dan tertarik pada lukisan Keenan. Sebelumnya Reza tidak tampil
sama sekali. Selanjutnya Reza berperan sebagai bos sekaligus pacar
Kugy. Begitu juga dengan Titi DJ. Parahnya, Titi tampil ketika film
hampir berakhir. Ia menjadi salah satu keluarga Kugy dalam tampil
beberapa syut saja (kalau tidak salah malah sekali syut).
Bintang-bintang
bertaburan ini bukannya menambah daya tarik film, tapi justru malah
mengacaukan fokus. Bayangkan, ketika kita sedang asyik menikmati
cerita, tiba-tiba kita dikagetkan oleh kehadiran Reza di tengah film.
Kehadirannya yang tiba-tiba membuat menonton harus menguras energi
untuk mengingat alur film dari awal, siapa sosok Reza ini. Kehadiran
Titi DJ juga begitu. Perannya yang tidak penting dan hanya tampil
dalam beberapa syut saja, setelah itu menghilang. Jika begini
sebaiknya Titi DJ tidak usah ditampilkan saja. Seperti pelengkap,
tapi membuat kacau rasa. Bagi saya, cerita lebih penting ketimbang
bintang-bintangnya.
Satu
hal yang saya menikmati betul dari film ini adalah sinematografinya.
Dari awal film, kameramen membidik objek-objek dengan angle yang unik
dan memikat. Misalnya ketika ia membidik Kugy yang sedang duduk di
meja belajarnya. Ia tidak mebidik dari depan, melainkan dari samping,
sekaligus membidik cermin di lemari pakaian Kugy. Efeknya sosok Kugy
tidak tampil tunggal, melainkan ganda, Kugy yang riil dan Kugy dalam
cermin. Komposisi gambarnya pun sesuai dengan the rule of third-nya
fotografi dan nyaman ditonton. Banyak angle-angle unik semacam ini
yang ditampilkan. Selain itu, film ini juga menampilkan eksotisme
alam Indonesia. Bali dengan pantai dan budayanya, keindahan alam di
sekitar lokasi sanggar anak, juga hijaunya pegunungan dilihat dari
rumah Keenan.
Film
yang diadaptasi dari novel, biasanya memang mengecewakan. Bagi saya
itu sebetulnya wajar saja. Berbeda dengan novel, film memiliki ruang
dan waktu yang terbatas. Biasanya sutradara kepingin memasukan semua
isi novel ke dalam film. Namun keinginan itu justru membuat film jadi
mengecewakan, terutama bagi pembaca yang sudah membaca novelnya.
Meski belum membaca novelnya, tapi tetap saja saya kecewa. Semoga
film-film selanjutnya yang diadaptasi dari novel tidak sebegini
mengecewakan. Amin.
0 komentar: