Kisah
migrasi identitas budaya oleh kalangan buruh migran. Berangkat dari
hasil penelitian di Desa Jangkaran. Tampil dalam bentuk teater
dokumenter dengan teknik verbatim.
Sumber foto http://www.tembi.net/ |
''Merah,
yang merah,'' kata Tri lagi. Panik, Asong memboyong sejumlah produk
berwarna merah dari etalase. Rupanya masih juga salah.
''Oh,
rokok. Ya, rokok,'' kata Tri menyebut barang yang dimaksud.
Bertahun-tahun bekerja sebagai buruh migran di Korea, ia rupanya
terbiasa memesan rokok dalam bahasa orang-orang "negeri ginseng"
itu: dambae. ''Barusan pulang dari sana, hawanya tuh ngomong
bahasa Korea," tutur Tri dengan logat Jawa yang diwarnai
intonasi Korea ke hadapan penonton.
Itulah
penggalan pementasan teater bertajuk Sangkar Madu suguhan
Teater Garasi di panggung Erasmus Huis, Jakarta, Sabtu malam pekan
lalu, yang lumayan menggelitik. Tak hanya aksen dan celotehan aktor,
juga ekspresi serta cerita yang disuguhkan mampu membuat penonton
riuh dan terbahak.
Verry
Handayani, sutradara lakon ini, memaparkan bahwa "madu"
merujuk pada hal-hal menggiurkan yang memikat seseorang untuk jadi
buruh migran. Misalnya gaji besar dan pengalaman baru. Sedangkan
"sangkar" adalah realitas para buruh yang terkerangkeng
dalam lingkaran yang tampak manis tersebut. ''Sepertinya manis, tapi
kita terpenjara," ujarnya.
Untuk
menggarap Sangkar Madu, Teater Garasi melakukan studi kasus di
Desa Jangkaran, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta,
selama September 2012-Januari 2013. Sekitar 80% pendudukan Desa
Jangkaran bekerja sebagai buruh migran di berbagai negara. Di desa
ini, mudah ditemukan rumah megah berderet sebagai hasil keringat
mereka yang menjadi buruh di negeri orang.
Perubahan
yang dirasakan di Jangkaran tidak hanya terkait materi. Sebagaimana
dapat ditemukan di beberapa daerah "pemasok" lainnya, pada
titik tertentu para buruh migran itu berperan sebagai agen budaya.
Mereka membawa pengaruh budaya dari tempatnya bekerja, lantas
menginternalkannya untuk dimaknai juga oleh masyarakat kampungnya.
Tak hanya soal bahasa, melainkan juga fashion, masakan, cara
pandang, musik, dan beragam produk budaya lainnya.
Selain
pengalaman Tri (diperankan Febrinawan Prestianto), Sangkar Madu
juga menampilkan kisah Saerah (Siti Fauziah), yang pernah menjadi
buruh migran di Arab Saudi, dan Yani (Tita Dian Wulansari), yang
pernah bekerja di Taiwan. Sedangkan Asong (Febrianus Anggit Sudibyo)
dan Tami (Elisabeth Lespirita) adalah
representasi masyarakat desa yang mengalami langsung perubahan budaya
di desanya.
Lakon
bertema buruh migran bukan karya Verry yang pertama. Pada 2008, ia
mengangkat monolog Sum: Cerita dari Rantau. Baik Sum
maupun Sangkar Madu digarap dengan pendekatan teater
dokumenter; dibuat berdasarkan fakta-fakta yang diolah dari hasil
penelitian. Aktor hadir sebagai tokoh, juga peneliti.
Bedanya,
penggarapan teater dokumenter dalam Sangkar Madu dikembangkan
dengan teknik verbatim. Yaitu teknik imitasi cara berkomunikasi orang
yang diwawancarai. Termasuk intonasi, nada bicara, timbre, jeda, dan
interjeksi.
Dengan
pendekatan itu, dalam Sangkar Madu, buruh migran diposisikan
sebagai subjek. Terutama terkait dengan peran mereka sebagai agen
budaya. Sebuah penawaran menarik untuk memperkaya sudut pandang
masyarakat terhadap para buruh lintas negara yang sebelumnya lebih
banyak ditempatkan sebagai pahlawan devisa, agen ekonomi, dan korban
penindasan.
0 komentar: