• Ruang Gelap Demokrasi

    Reformasi di Indonesia melahirkan beberapa organisasi garis keras dengan aksi-aksi kekerasan yang tidak demokratis. Berhentilah berharap pada pemerintah. Lebih baik membuat gerakan sosial massif untuk menciptakan iklim demokrasi.

    SISI GELAP DEMOKRASI: KEKERASAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

    Penulis: Sidney Jones
    Penerbit: Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, Jakarta, 2015, xii + 150 halaman

    Reformasi memberikan titik terang bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Ketika keran demokrasi dibuka, hak masyarakat untuk berekspresi dan berkumpul melahirkan banyak gagasan baru dan memunculkan banyak organisasi masyarakat sipil. Kemunculan banyak organisasi masyarakat sipil itu tak selalu beriringan dengan upaya penguatan demokrasi. Kemunculan sejumlah organisasi garis keras dengan aksi-aksinya justru destruktif terhadap demokrasi itu sendiri.

    Ruang gelap yang destruktif terhadap demokrasi itu menjadi topik dalam bedah buku Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia, Kamis pekan lalu, di Universitas Paramadina, Jakarta. Sidney Jones, penulis buku ini, yang juga Direktur The Institute for Policy Analysis of Conflict, hadir sebagai pembicara, bersama dengan anggota Komisi VIII DPR Maman Imanulhaq, Ketua Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM Zainal Abidin Baghir, dan Peneliti PUSAD Paramadina Samsu Rizal Panggabean.

    Tercatat sejumlah organisasi masyarakat madani intoleran muncul di Indonesia pasca-Reformasi. Gerakannya beragam. Dari vigilantisme atau main hakim sendiri, advokasi pada ranah lokal, hingga gerakan transformatif yang ingin mengganti sistem demokrasi. Gerakan itu terejawantahkan dengan adanya kelompok Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Reformis Islam (Garis) di Cianjur, dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Sayangnya, pemerintah --termasuk rezim SBY yang berkuasa selama 10 tahun-- gagal menyelesaikan persoalan kekerasan yang muncul dari organisasi ini.

    Sidney menengarai ada dua faktor kunci yang membuat persoalan ini tak juga selesai. Pertama, upaya pemerintah tidak solutif, dan kedua lemahnya sistem penegakan hukum di Indonesia. Perlunya upaya serius pemerintah untuk menegakkan sistem yang taat pada hukum, bersih, dan reformis. "Tapi yang terjadi justru sebaliknya," kata Sidney.

    Umumnya di negara berkembang, vigilantisme muncul di tengah lemahnya peran lembaga negara. Tapi di Indonesia, vigilantisme justru marak di tengah besarnya kekuatan negara, salah satunya ditandai dengan banyaknya jumlah pos polisi di Indonesia. "Solusinya, memecahkan hubungan vigilantisme itu dengan kepolisian, ada sistem yang harus diperbaiki," kata Sidney.

    Zainal berpendapat, munculnya kelompok intoleran justru menjadi konsekuensi dari berkembangnya demokrasi. Ruang gelapnya berada pada lemahnya upaya pemerintah merespons terjadinya kekerasan. Namun solusi pemberangusan organisasi bukanlah jawaban, melainkan malah mengalihkan inti persoalan sebenarnya, yaitu kekerasan. "Kalau pemberangusan yang dilakukan, artinya pemerintah tidak bisa merespons sisi gelap itu," kata Zainal.

    Tragedi Monas 1 Juni 2008, kekerasan terhadap jemaat HKBP Filadelfia, mengindikasikan absennya negara terhadap penyelesaian kekerasan. Padahal jargon bahwa "negara tidak boleh kalah oleh kekerasan" digembor-gemborkan oleh SBY pada masa itu.

    Upaya negara memonopoli kekerasan, kata Samsu Rizal, masih parsial dan tersegmentasi. Negara turut andil dalam kasus Syiah di Pasuruan, tapi tidak di Sampang. Bahkan aktor negara dan aktor non-negara yang intoleran kadang berebut memonopoli kekerasan, dan kadang malah bekerja sama.

    Ruang demokrasi yang terbuka lebar dimanfaatkan oleh kelompok intoleran yang melahirkan kekerasan untuk mengambil posisi, sementara kelompok toleran memanfaatkan itu hanya dengan bersuara menuntut pemerintah. Padahal keamanan dan kebebasan bukanlah public goods yang disediakan negara. Ia tidak hadir begitu saja dan harus diperjuangkan.


    Gerakan sosial yang massif di tengah iklim demokrasi menjadi solusi untuk mewujudkan kebebasan dan menyelesaikan persoalan kekerasan. "Kebebasan itu hasil tawar-menawar dan pertaruhan. Jadi, mulailah berhenti berharap pada pemerintah dan membangun gerakan sosial," kata Samsu diiringi tawa penonton.

0 komentar:

Posting Komentar