TEATER
Membaca Ulang Naskah Lawas*
Membaca Ulang Naskah Lawas*
Proyek penulisan dan pembacaan naskah lama. Menggali arsip berharga, mengundang para penulis bereputasi tinggi. Agar para penulis punya alasan untuk kembali menulis lakon teater.
Lima orang aktor dan seorang narator
riuh berceloteh di sebuah meja perpustakaan. Ceritanya, mereka akan
melakonkan naskah berjudul Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan
Langit Dekat dan Langit Sehat karya Akhudiat.
"Siapa, siapa yang bisa
memerankan hujan?" ujar seorang aktor. "Sudahlah, nari dan
maen gamelan saja tidak bisa. Apalagi meranin hujan? Adegan
berikutnya?" Sahut aktor lainnya.
Di Teater Jakarta Taman Ismail
Marzuki itu, Jumat malam pekan lalu, Forum Aktor Yogyakarta sedang
membacakan naskah teater berjudul Di Luar 5 Orang Aktor. Sambil
berlakon, sesekali mata mereka tertuju pada naskah yang tergenggam di
tangan masing-masing.
Naskah yang dibacakan itu adalah
gubahan Afrizal Malna, yang berupa penulisan ulang (atau lebih
tepatnya; tanggapan) penyair dan esais berkepala plontos itu atas
naskah karya Akhudiat yang ditulis 39 tahun lalu.
Naskah Rumah Tak Beratap Rumah Tak
Berasap dan Langit Dekat dan Langit Sehat, yang menjadi rujukan
Afrizal, berkisah tentang penari ledhek yang akan dinikahkan dengan
juragan kaya, karena ibu si penari itu berutang pada si juragan.
Naskah tersebut berlatar kehidupan rakyat jelata, dengan sebagian
besar dialog berbahasa Jawa. Pada 1974, naskah ini keluar sebagai
juara harapan di perhelatan Sayembara Naskah Dewan Kesenian Jakarta.
Alih-alih melakukan interpretasi
linear atas plot tradisional penari ledhek, Afrizal mengambil daya
tarik intrinsik lainnya pada naskah karya Akhudiat itu. Yakni,
remah-remah dialog keseharian wong cilik yang seolah-olah tidak
diikat oleh sebuah narasi besar.
Melalui Di Luar 5 Orang Aktor,
Afrizal menghadirkan realisme baru dengan mengambil jarak tegas atas
realitas naskah rujukannya. Versi Afrizal berkisah tentang lima aktor
dan seorang narator yang berjibaku mempersiapan pementasan teater
untuk lakon Rumah Tak Beratap Rumah Tak Berasap dan Langit Dekat dan
Langit Sehat.
Persiapan itu tak hanya menyoal
riweuh-nya berbagi peran dan latihan vokal, tapi juga sejumlah
perdebatan mengenai sejarah, sosiologi, bahkan isu feminisme dalam
karya aslinya, yang nyaris tidak pernah dibawakan di panggung teater
itu.
"Karena aku punya imajinasi
yang berada dalam background berbeda dari tokoh-tokoh yang
diciptakan Akhudiat. Pokoknya tokoh, setting, tema, itu milik
Akhudiat. Jadi aku tidak masuk, aku ada di luar," kata Afrizal,
seusai naskahnya dibacakan.
Proyek penulisan ulang naskah lama
dan pembacaannya itu merupakan bagian dari perhelatan "Indonesia
Dramatic Reading Festival (IDRF) 2013". Festival yang
diselenggarakan pada 3-6 Desember lalu itu merupakan rangkaianan dari
Festival Teater Jakarta 2013.
Pertama kali digelar pada 2010, IDRF
kemudian secara rutin diselenggarakan tiap tahun. Konsepnya adalah
penulisan naskah teater dan pembacaan naskah tersebut oleh kelompok
teater. Sejumlah kelompok teater terkenal pernah turut dalam
pembacaan naskah IDRF. Di antaranya adalah Teater Koma, Teater
Gandrik, Teater Garasi, Teater Gardanala, Teater Kertas, dan Studi
Teater Bandung (STB).
Penyelenggaraan IDRF sebelumnya
bersifat terbuka. Namun, tahun ini, dengan dukungan Jaringan Arsip
Budaya Nusantara, lima penulis yang diundang untuk menuliskan kembali
naskah lama.
Naskah lama yang dipilih adalah
naskah dari era 1970-1979. Dari 532 naskah yang tersimpan di bank
naskah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), terpilihlah 18 naskah untuk
ditulis ulang. Dari jumlah itu kemudian mengerucut menjadi lima
naskah, sesuai jumlah penulisnya. Semua penulis bebas menulis ulang
naskah tersebut dan hanya diberi satu syarat: durasi naskah 1-1,5 jam
saja.
Selain Afrizal, ada Esha Tegar Putra
yang menulis ulang naskah Malin Kundang karya Wisran Hadi. Cerita
rakyat berlatar tradisi Minang ini ditulis sebagai naskah teater oleh
Wisran pada 1978. Jika dalam cerita rakyat Malin durhaka pada
orangtuanya, dalam versi Wisran, justru orangtua --dalam hal ini
paman alias adik ibunya Malin-- yang durhaka dengan menjual rumah
keluarga Malin. Naskah itu juga menceritakan Malin yang merana di
tanah rantau karena anaknya yang kelak menjadi penyair hilang entah
ke mana.
Dari naskah Wisran itu, Esha
menggubah Malin-Malin. Naskah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian
pertama mengenai bocornya proyek perbaikan batu Malin Kundang. Bagian
kedua Malin menggugat alur cerita Malin Kundang yang didongengkan
tiga tukang kabar. Sedangkan di bagian ketiga, Malin sedang galau,
kebingungan antara harus merantau atau tinggal di rumah.
Penulis lain dalam proyek ini adalah
Andri Nur Latif. Ia menulis Yuni dengan rujukan naskah Ben Go Tun
karya Saini KM. Lalu ada Ibed Surgana Yuga yang menulis Para Agung
sebagai versi lain dari naskah karya Ikranagara yang berjudul Saat
Drum Band Menggeram-geram di Bekas Wilayah Tuanku Raja. Tearkhir ada
Shinta Febriany menulis ulang Tidak Ada Waktu bagi Nyonya
Fatmah,Barda dan Cartas menjadi sebuah naskah berjudul Ummu dan yang
Tersembunyi di Balik Cemburu.
Di Jakarta, naskah hasil tulis ulang
tersebut dibacakan oleh Lab Teater Ciputat, Stage Corner Community,
dan Forum Aktor Yogyakarta. Sebelum dibacakan di Jakarta, naskah IDRF
2013 lebih dulu dibacakan di Yogyakarta pada 23-25 Oktober 2013.
IDRF berangkat dari kegelisahan
Gunawan Maryanto dan Juned Suryatmoko soal semakin langkanya penulis
naskah teater. Semasa zaman emas teater Indonesia pada 1970-an, meski
masih terhitung minim, penulis naskah teater masih terakomodasi
banyak media. Pada masa itu sayembara penulisan naskah teater kerap
diselenggarakan. Biasanya, naskah yang jadi pemenang sayembara
dibukukan dan dipentaskan.
Tradisi itu yang tidak ada lagi,
setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir. Tidak ada lagi wadah untuk
penulis naskah teater, kecuali si penulis memiliki dan menjadi bagian
dari sebuah kelompok atau komunitas teater. "Akhirnya, penulis
lakon tidak punya alasan untuk menulis lagi," kata Gunawan
Maryanto, Penata Program IDRF.
Afrizal mengatakan kota dengan pasar
dan media tumbuh sedemikian rupa. Sayangnya pertumbuhan itu tidak
melihat arti penting pertumbuhan teater. Seperti kota, teater juga
penting terkait dengan bagaimana warga menginternalisasi kotanya
sendiri. "Ketika sebuah kota tumbuh dan tidak memperhitungkan
pentingnya seni, dalam hal ini teater, ia seperti tumbuh tanpa
memori, tanpa pembacaan," ujarnya.
*artikel di Majalah
GATRA edisi 7/XX Desember 2013
0 komentar: