Karya
seni media baru garapan anak-anak muda meramaikan Jakarta Biennale
2013. Interaktif dan menghibur. Berpotensi menjadi konvensional di
tengah massifnya serbuan media digital.
Di
depan kinect, Fatya Arta Utami merenggangkan kedua tangannya
ke samping. Seperti berlatih yoga, mahasiswa pascasarjana Program
Studi Psikologi Universitas Indonesia ini menggerakan tangan ke atas,
kemudian kuncup, turun, lalu jongkok mengikuti gerak lingkaran
berwarna yang tampil pada kinect. Lingkaran merah untuk tangan
kanan, biru untuk tangan kiri.
Tak berapa lama, tiba-tiba manusia
raksasa dengan rambut sebahu muncul dan meloncati Fatya yang masih
jongkok. Tak hanya itu, seekor macan dan dinosaurus mengintip, pergi
sebentar, kemudian muncul lagi dan satu per satu melompati tubuh
Fatya seperti yang dilakukan raksasa tadi. Kaget, Fatya menengok ke
samping. Tak ada makhluk mengerikan apa pun di ruangan itu. Manusia
raksasa, macan, ataupun dinosaurus yang melompati itu rupanya citraan
digital saja.
"Seru
dan lucu. Serasa dilompatin dinosaurus beneran!"
katanya bersorak.
Instalasi video hasil perpaduan
augmented reality dengan kinect yang interaktif ini
berjudul "In The Name of Futile Gesture". Yusuf Ismail,
seniman asal Bandung, membuat karya ini khusus untuk dipamerkan dalam
Jakarta Biennale 2013 selama 9-30 November 2013 di basement
Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Demi mengerjakan proyek yang
dibuat dalam waktu satu bulan itu, Yusuf mengajak Labtek Indie untuk
berkolaborasi.
Yusuf adalah alumnus seni patung
Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Pemuda
kelahiran Bogor, Jawa Barat, 1981, ini rajin memproduksi karya hasil
olah video. Banjir informasi melalui internet, dengan segala
kekurangan dan kelebihannya dimanfaatkan Yusuf untuk memamerkan
karyanya pada audiens lebih luas. Terhitung lebih dari 50 video sudah
dibuat Yusuf.
Paling
ramai ditonton beberapa waktu lalu adalah video klip berjudul Demi
Tuhan Style - Psy feat. Arya Wiguna. "Demi Tuhan!"
adalah ungkapan Arya Wiguna yang sering muncul di program
infotainment ketika berseteru dengan Eyang Subur. Video klip
yang diunggah Yusuf pada 22 April 2013 di Youtube ini tercatat telah
ditonton lebih dari 1,5 juta kali.
Sementara
itu, Labtek Indie adalah perusahaan non-profit yang berlokasi di
Bandung dan bergerak di bidang teknologi. Pada In the Name of
Futile Gesture, Yusuf mengonsep dan membuat video, sementara
Labtek Indie kebagian jatah membuat script dan programming.
Instalasi video ini memotret bagaimana karya ini merespons gerakan pengunjung. "Tanpa pengunjung sadari, karya saya itu seperti streaming untuk merespons orang yang ingin eksis di dunia maya," kata Yusuf.
Instalasi video ini memotret bagaimana karya ini merespons gerakan pengunjung. "Tanpa pengunjung sadari, karya saya itu seperti streaming untuk merespons orang yang ingin eksis di dunia maya," kata Yusuf.
Rencananya,
seusai perhelatan Jakarta Biennale 2013, rekaman interaktif
pengunjung dalam karyanya ini akan diproduksi ulang menjadi karya
lain. "Hasil paper streaming itu saya capture,
saya cetak ulang menjadi karya baru lagi," Yusuf menjelaskan.
Karya
digital lainnya yang unjuk gigi di Jakarta Biennale 2013 adalah A
Building to Long For atau Gedung Idaman. Pembikinnya
adalah Serrum & Dinas Artistik Kota.
Dinas Artistik Kota adalah program
Serrum dalam rangka mempercantik kota. Terinspirasi dari visual
art garapan Diego Rivera di gedung Istana Cortes di Cuernavaca,
Meksiko dan karya Pablo Picasso di gedung Pemerintah Norwegia, Serrum
mengajak warga Jakarta mewujudkan seperti apa gedung pemerintah yang
mereka imajinasikan.
Serrum
merupakan sekumpulan alumnus mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri
Jakarta. Anggotanya, M.G. Pringgotono, Arif Kurniawan, Arief Rachman,
Sigit Budi, J.J. Adibrata, Gunawan Wibisono, dan R.M. Herwibowo.
Sesuai dengan latar belakang almamater, Serrum lebih banyak fokus
pada masalah sosial dan pendidikan dalam medium seni rupa.
Pada proyek Gedung Idaman, Serrum memilih tiga gedung pemerintah yang dianggap paling popular di masyarakat, yaitu Gedung KPK, Gedung MPR/DPR, dan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada proyek Gedung Idaman, Serrum memilih tiga gedung pemerintah yang dianggap paling popular di masyarakat, yaitu Gedung KPK, Gedung MPR/DPR, dan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Serrum
membuat contoh pola gedung-gedung pemerintah itu dan masyarakat
"mendandani" pola itu sesuai imajinasi mereka. Bagian
tertentu sengaja diberi warna putih, misalnya bagian atap Gedung
MPR/DPR, "Biar pengunjung bisa menggambarinya sesuka hati,"
kata J.J. Adibrata, Sabtu malam, 16 November lalu, di markas Serrum
Jalan Gurame 3, Rawamangun, Jakarta.
Interaksi
masyarakat diperoleh melalui dua metode: online dan offline.
Pada pendekatan online, Serrum membuat halaman di jejaring
sosial, mengunggah contoh pola gedung pemerintah dalam bentuk digital
dan mengundang banyak orang untuk berpartisipasi melalui jejaring
sosial pula. Masyarakat menggambari contoh pola itu menggunakan
aplikasi Adobe Photoshop.
Sedangkan
metode online, tim Serrum mengunjungi langsung gedung yang
dituju dan meminta partisipasi masyarakat sekitar gedung tersebut
untuk mendandani contoh pola yang sudah disiapkan. Serum sudah
menyiapkan "reporter" untuk menanyakan langsung pada
masyarakat gedung seperti apa yang diidamkan. Lantas seorang
ilustrator akan menggambarkannya pada contoh pola gedung tersebut.
Alih-alih
membuat gedung idaman, karya yang muncul justru citraan masyarakat
pada lembaga dan orang-orang yang menempati gedung tersebut. Karya
digital Djmas Prast, misalnya. Atap gedung MPR-DPR itu digambari
sekumpulan tikus dalam jumlah banyak. Djmas memberi judul Sarang
pada karyanya.
Ada
juga yang menyulap contoh pola gedung legislatif itu menjadi pesawat
luar angkasa UFO, lengkap dengan suasana temaram dan petir di
langitnya. Karya digital hasil partisipasi pemilik akun Say Hello ini
diberi judul Sebenarnya Gedung Tersebut Merupakan Pesawat Luar
Angkasa dari Planet Sebelah.
Karya
lain, misalnya, contoh pola Gedung KPK ditempeli coretan bergambar
uang lima ratus rupiah lengkap dengan seekor monyet di atas pohon. Di
sampingnya ditambahi tulisan Manusia Emang Kaga Pernah Ada
Puasnya.
Ada
juga contoh pola Gedung MK yang digambari payung tertutup di sebelah
kanan dan kiri kubah. Di sampingnya dibubuhi tulisan Hukum di
Indonesia Sudah Tertutup. Karya ini hasil imajinasi Uji Sanusi,
tukang ojek yang mangkal di sekitar Gedung MK.
Dua
karya tadi merupakan di antara sejumlah karya dengan pendekatan seni
media baru yang mejeng di Biennale Jakarta 2013. Pendekatan seni satu
ini tumbuh dan berkembang seiring lahirnya teknologi digital seperti
internet, komputer, dan video. Di Indonesia, para seniman muda mulai
menghela praktek seni ini sekira satu dasawarsa terakhir.
Menurut
Yusuf Ismail, di tengah massifnya serbuan teknologi, seni media baru
tak lagi baru. Dari segi alat maupun teknis, tak ada yang benar-benar
baru pada genre seni ini. Kebaruan muncul seiring dengan adanya
konsep-konsep baru. "Kalaupun ada yang baru, itu pemikirannya.
Kita bisa merespons hal-hal yang ada di lingkungan dengan cara baru,"
ujarnya.
*dimuat
di Majalah GATRA edisi 3/XX November 2013
0 komentar: