FILOSOFI
KOPI
Sutradara:
Angga Dwimas Sasongko
Pemain:
Chicco Jerikho, Rio Dewanto, Julie Estelle
Produksi:
Visinema Pictures, 2015
Upaya
berdamai dengan masa lampau melalui kopi. Plus minus adaptasi cerpen
populer ke dalam film.
Sejak
kedatangan El (Julie Estelle), perilaku Ben (Chicco Jerikho) berubah
seratus delapan puluh derajat. Dulu, barista bergaya selengean itu
berperangai riang. Kini ia lebih sering bermuram durja. Bersama
hilangnya keceriaan Ben, raib pula masa depan Filosofi Kopi, kafe
yang ia rintis bersama Jody (Rio Dewanto).
Perubahan
itu bermula dari respons El atas secangkir Perfecto yang Ben sajikan.
Menurutnya, ada kopi lain yang lebih enak ketimbang mahakarya racikan
Ben itu. Perfecto adalah hasil kerja keras Ben untuk menjawab
tantangan seorang pengusaha yang akan mengganjar mereka Rp 1 miliar
jika berhasil menyajikan rasa kopi paling sempurna sedunia.
Kopi
terbaik pesaing Perfecto itu ada di lereng pegunungan Ijen, Jawa
Timur. Peraciknya adalah petani kopi tua bernama Seno (Slamet
Rahardjo) dan istrinya (Jajang C. Noer). Mereka menyebutnya kopi
Tiwus. Satu gelas seduhan kopi Tiwus itu memengaruhi banyak hal dalam
kehidupan Ben. Dari urusan membangkitkan kenangan hingga runtuhnya
kebanggan semu yang ia bangun bersama Perfecto.
Kisah
tersebut terangkai dalam film Filosofi Kopi garapan sutradara
Angga Dwimas Sasongko. Ceritanya diadaptasi dari sebuah cerita pendek
berjudul sama yang ditulis oleh Dewi Lestari pada 1996. Lazimnya
sebuah karya layar lebar yang bersumber pada cerpen, ada sejumlah
pengembangan karakter dan cerita dalam Filosofi Kopi dengan
tujuan --yang cukup mudah ditebak-- mengetengahkan efek dramatis
dalam target durasi lebih panjang.
Contohnya
kehadiran cewek cakep bernama El. Versi cerpen Filosfi Kopi tidak
mengenal karakter ini. Dalam film, ia dimunculkan sebagai sosok
penting dalam hubungan persahabatan Ben dan Jody. Lainnya adalah
pengungkapan latar belakang kehidupan Ben. Versi cerpen hanya
mengenalnya sebagai barista ambisius, petualang citra rasa kopi yang
rela keliling dunia demi menemukan koresponden kopi terbaik.
Penggarapan
film hasil adaptasi cerpen dengan adaptasi novel sangat berbeda dalam
soal penulisan naskah. Film hasil adaptasi novel adalah peringkasan
cerita dari ratusan halaman kisah panjang ke dalam durasi film yang
terbatas. Sebaliknya, untuk memenuhi durasi tersebut, sutradara harus
putar otak mengembangkan karakter dan kisah dari belasan lembar
halaman cerpen.
Metode
berbeda dalam penulisan naskah ini memberi nilai lebih pada film
hasil pengembangan cerpen. Sifat dasar medium visual gerak itu
sendiri memiliki kelebihan soal penyuguhan narasi secara langsung.
Dalam film, pembaca menemukan afirmasi visual atas imajinasi mereka
saat membaca teks tertulis soal kepiawaian seorang barista mengemas
secangkir cappuccino cantik.
Tapi
medium itu sekaligus menjadi keterbatasan karena tak seperti film,
interpretasi teks berkembang seiring berkembangnya pengetahuan dan
imajinasi pembaca. Misalnya, narasi ketika Jody dan Ben mencicip kopi
tiwus pertama kali. Deskripsi perubahan sikap keduanya, versi cerpen
jauh lebih menggigit ketimbang versi film.
Dalam
film, Ben tidak langsung mereguk. Ia menghirup aroma kopi sambil
dengan kesal menyaksikan ekspresi Jody mencicipi kopi sambil
memejamkan mata. Setelah itu, karena tuntutan pengembangan cerita,
Ben kabur meninggalkan gubuk kopi Pak Seno untuk memasukkan kisah
masa lalunya yang pahit. Itu berbeda dengan modus ungkap dalam cerpen
yang mengungkap momen awal runtuhnya kebanggan Ben itu dengan
kalimat, "Ben cuma membisu. Hanya matanya diliputi misteri.
Perlahan, aku ikut menenggak. Dan... kami berdua tak bersuara. Teguk
demi teguk berlalu dalam keheningan."
Adaptasi
cerpen dalam film memberikan ruang yang sangat luas pada penulis
naskah untuk mengembangkan alur cerita. Tidak semua hasilnya enak
dihirup dan diteguk penonton. Seperti tragedi ketidaksempurnaan citra
rasa Perfecto yang dibuat dengan "standar akademis" tinggi
di hadapan kopi Tiwus yang sederhana dan penuh cinta.
0 komentar: