Beberapa waktu lalu, saya liputan ke Bumi Perkemahan
(Bumper) Cibubur. Demi mempermudah proses liputan, saya naik ojek. Ia satu-satunya
ojek yang saya temukan tak jauh dari lokasi Bumper. Tanpa pikir panjang dan tawar-menawar
harga, saya menaiki motornya. “Keliling Cibubur, Pak,” kata saya.
Sumber gambar: iwok.blogspot.com |
Sepeda motor matic dengan merek M*o itu pun membawa
saya memasuki Bumper. Rupanya tukang ojek itu cukup dikenal di wilayah Bumper
tersebut. Beberapa petugas di gerbang masuk menyapanya. Cukup menunjukan kartu
sakti, saya pun masuk tanpa membawar retribusi. Begitu pula dengan ojek itu. Karena
kerap membawa masuk penumpang, tak juga berlaku retribusi ataupun ongkos parkir.
Usia tukang ojek ini masih muda, sepertinya tak terpaut
jauh dari usiaku. Posturnya yang gemuk tambah kelihatan jumbo dengan kaos warna
cream dan celana pendek dengan warna senada yang ia kenakan. Paduan warna
kostumnya pun senada dengan warna kulitnya yang cenderung gelap.
“Habis ini kemana, Mbak?”
tanyanya.
“Yang belum sebelah mana ya?”
Mendengar jawaban saya, ia menduga-duga siapa saya dan apa
tujuan berkeliling ini. Tebakannya benar, saya memang sedang menelusuri soal tanah
Bumper yang akan dialihfungsikan menjadi mall. Tanah tersebut ternyata berada
di Taman Wiladatika, persis di depan Cibubur Junction.
Tukang ojek kemudian membantu saya menelusuri wilayah
itu dan menemukan beberapa narasumber yang harus saya tanya. Sebagai orang lokal,
pengetahuan dan relasinya sangat membantu proses reportase saya.
Selepas wawancara, ia mengantar saya hingga angkot
terdekat. Lokasi Cibubur-Kalibata yang cukup jauh tak memungkinkan saya untuk
terus ngojek sampai depan pintu kos. Bisa-bisa masuk angin nanti. Sebelum
pergi, tukang ojek itu menawarkan diri jika sewaktu-waktu dibutuhkan. “Saya kan masih lajang,” katanya tanpa perlu
saya Tanya.
“Oh ya, makasih ya,” saya basa-basi sambil ngeloyor
pergi.
“Ini nomor hape saya,” katanya. Saya pun urung pergi. Saya
ketik nomornya sambil pura-pura menyimpannya di phonebook. Saya pikir, tak
setahun sekali juga saya kesini. “Kalau perlu, tinggal kontak saya aja. Saya
bisa kapan aja kok. Saya kan masih
lajang,” katanya. Entah berapa kali ia mengucapkan kalimat terakhir itu.
Lagi-lagi saya urung pergi ketika ia kembali
melontarkan tawarannya, sambil mengucap kalimat yang sama. Dengan tersenyum,
saya pamit pergi, sambil menduga-duga maksud kalimat berulang-ulang itu. “Saya kan masih lajang!”
0 komentar: